"Bersama Memberi Arti", Fitrah Kehidupan Manusia
Oleh: Eko Prayitno SE. MBA.
Manusia hadir di muka bumi bukan sebagai makhluk yang berjalan sendiri, tetapi sebagai ciptaan yang membawa fitrah untuk hidup bersama, bekerja bersama, dan tumbuh bersama. Sejak awal penciptaan, manusia telah ditetapkan sebagai khalifah di bumi sebagaimana termaktub dalam Surah Al-Baqarah ayat 30. Sebuah amanah mulia yang tidak hanya menandai kehormatan, tetapi juga menegaskan bahwa kehidupan manusia tidak pernah dimaksudkan berlangsung dalam keterpisahan.
Sebagaimana dijelaskan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, manusia tidak dapat menjalankan fungsi kekhalifahan tanpa kesadaran bahwa kehidupannya selalu bertalian dengan kehidupan makhluk lain. Seseorang tidak menjadi khalifah hanya karena ia diciptakan, tetapi karena ia mampu menjaga hubungan dengan Allah, dengan sesama, dan dengan alam semesta.
Relasi pertama, hubungan manusia dengan Tuhannya (hablum minallah), adalah fondasi spiritual kehidupan. Manusia hanyalah hamba, tetapi hamba yang diberi kehormatan untuk menjadi pengelola bumi. Hubungan vertikal ini menguatkan batin dan menata orientasi agar setiap perilaku berakar pada nilai ilahiah: kejujuran, rasa malu, kasih sayang, dan kepedulian. Syekh Abdul Qadir al-Jailani menegaskan bahwa siapa pun yang menjaga hubungan dengan Allah, maka Allah akan menjaga akhlaknya. Kesadaran ini membuat manusia tidak mudah berlaku zalim, karena ia tahu bahwa setiap tindakan kembali pada Yang Maha Melihat.
Relasi kedua adalah hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas), yakni menjadi manusia yang memanusiakan. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Bukhari). Ulama kontemporer, Prof. Quraish Shihab, menegaskan bahwa makna khalifah tidak mungkin diwujudkan tanpa menghadirkan manfaat. “Khalifah adalah mereka yang menghadirkan kebaikan, bukan sekadar yang berkuasa,” tulisnya dalam Wawasan Al-Qur’an. Dalam konteks ini, manfaat tidak berhenti sebagai konsep abstrak, tetapi tampil dalam tindakan konkret: membantu tetangga, menolong sahabat, membuka ruang tumbuh untuk orang lain. Itulah sunnatullah sosial, manusia ditakdirkan untuk saling meneguhkan. Karena itu pula manusia menjadi perantara rezeki. Allah Maha Pemberi Rezeki, tetapi manusia dijadikan jalan sampainya karunia itu. Mereka yang membuka lapangan pekerjaan, memberi upah layak, atau menguatkan usaha kecil, sedang menjalankan fungsi ilahiah sebagai sebab turunnya keberkahan.
Sebagai khalifah, manusia tidak hanya memimpin tetapi memelihara. Surah Al-A’raf ayat 56 mengingatkan, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” Pesan ini sejalan dengan pemikiran Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa konsep khalifah selalu berkaitan dengan etika ekologis: manusia menjaga alam, dan alam menjaga manusia. Gunung, sungai, tanah, dan udara bukan sekadar sumber daya, tetapi amanah. Ketika manusia merawat alam, alam pun memeliharanya kembali melalui udara bersih, air jernih, cuaca stabil, dan tanah yang terus memberikan kehidupan.
Dalam rangkaian hubungan inilah fitrah manusia menemukan bentuknya sebagai makhluk sosial.
Frasa “Bersama Memberi Arti” lahir dari kesadaran bahwa kehidupan manusia baru utuh ketika ia membuka ruang bagi orang lain, menjaga keseimbangan alam, dan menempatkan Allah sebagai pusat seluruh geraknya. Kebaikan seseorang tidak berhenti pada dirinya; kebaikan itu menjalar. Keluarga menjadi tenang ketika ia jujur, pekerjanya hidup layak ketika ia berlaku adil, dan anak cucunya menikmati lingkungan yang sehat ketika ia menjaga alam.
Karena itu, hidup selalu menjadi lebih bermakna ketika dihidupi dalam kebersamaan. Kebersamaan bukan sekadar hadir berdampingan, tetapi saling menumbuhkan, saling menjaga, dan saling berbagi kebaikan. Inilah fitrah manusia sebagai khalifah, memakmurkan bumi tanpa membuat kerusakan, menghadirkan manfaat tanpa menuntut balasan, dan menjadi perantara kasih serta rezeki Allah bagi seluruh kehidupan.
*) Penulis adalah CEO PT Pesona Cipta
Referensi Ulama & Akademisi
1. Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin – relasi manusia dan fungsi sosial hamba Allah.
2. Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Futuh al-Ghaib – penjagaan akhlak melalui hubungan dengan Allah.
3. Prof. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an – kekhalifahan sebagai amanah sosial.
4. Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur'an – khalifah dalam perspektif etika sosial dan ekologis.
5. M. Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam – manusia sebagai insan adabi yang menjaga harmoni alam.
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar