Keris Kyai Praba Mataram Hilang
Yogyakarta, jogja-ngangkring.com - Bulan mati. Suara gamelan mengalun lirih di bawah langit yang temaram, menggiring malam menuju sebuah kisah yang nyaris terlupakan. Minggu, 27 April 2025, halaman parkir Komplek Masjid Agung Makam Raja-Raja Mataram berubah menjadi panggung hidup. Di sana, ketoprak Mataram kembali berbicara — bukan sekadar tentang pusaka yang hilang, tetapi tentang sesuatu yang jauh lebih penting: warisan yang menghidupi kita semua.
Dengan konsep tobong yang sederhana, keluarga besar Ketoprak Mataram Yogyakarta mempersembahkan lakon "Kyai Praba Mataram", sebuah kisah tentang kehilangan, pencarian, dan akhirnya kesadaran untuk menjaga apa yang sungguh berarti — dari keris pusaka hingga mata air yang memberi kehidupan.
Disutradarai dengan piawai oleh Sugiman Dwi Nurseto, iringan musik tradisional yang magis dari tangan dingin Bayu Papang SSN MSN, serta penataan artistik oleh Langen Budoyo, pertunjukan ini menjadi suguhan budaya yang menggetarkan. Deretan aktor kawakan seperti Angger Sutisna, Bagong Sutrisno, dan Miyanto menambah kharisma pementasan, membuktikan bahwa tradisi bisa tetap hidup dan relevan di hati masyarakat.
Lakon "Kyai Praba Mataram" mengangkat kisah tentang hilangnya Keris Probo Mataram, pusaka sakral peninggalan Panembahan Senopati, yang raib dicuri oleh makhluk-mahluk halus alas Mentaok. Dalam suasana genting, tuduhan berat menimpa Ngabehi Jogoruno, abdi dalem asal Brangwetan (Pasuruan) yang dipercaya menjaga gedung pusaka. Ketegangan memuncak saat Pangeran Purboyo memerintahkan penangkapan Ngabehi Jogoruno. Namun, pada akhirnya kebenaran terkuak — sang pusaka dicuri bukan oleh manusia, melainkan para makhluk gaib pengikut Ratu Kidul. Untuk mengatasi persoalan itu Patih Mondoroko mengambil langkah drastis yaitu memohon pertolongan langsung kepada Ratu Kidul. Dengan rendah hati, Patih Mondoroko meminta agar makhluk-makhluk gaib — para raksasa, kalayaksa, dan bala halimun alas Mentaok — bersedia mengembalikan pusaka yang mereka curi. Berbekal laku tulus dan doa akhirnya pusaka sakral itu dikembalikan. Keris Probo Mataram kembali ke pangkuan Panembahan Senopati, sekaligus mengukuhkan bahwa dalam menjaga pusaka, diperlukan bukan hanya kekuatan, tetapi juga kearifan, kerendahan hati, dan keberanian mengakui keterbatasan manusia di hadapan alam dan adikodrati.
Lebih dari sekadar pertunjukan, malam itu menyimpan pesan luhur. Pesan tentang pentingnya menjaga mata air — sumber sejati kehidupan. Sendang Selirang, mata air suci di kawasan Kotagede, tidak hanya menjadi tumpuan kehidupan warga sekitar sejak ratusan tahun lalu, tetapi juga berperan penting dalam perjalanan spiritual dan budaya Keraton Mataram.
Dari sendang inilah air suci untuk upacara besar kerajaan diambil; dari selirang pula mengalir harapan, kesuburan, dan ketenteraman bagi masyarakat Kotagede. Namun kini, aliran air dan kebersihannya mulai terancam oleh ketidakpedulian zaman.
Melalui kisah Kyai Praba Mataram, para seniman Ketoprak Mataram mengingatkan: sebagaimana kita menjaga pusaka, kita pun harus menjaga sumber air kita — membersihkan sendang, melestarikan alirannya, menjaga mata air seperti di Kali Opak, dan memelihara alam yang diwariskan nenek moyang. Sebab dalam air yang jernih, tersimpan keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Malam itu, penonton memenuhi area pertunjukan. Mereka tertawa, tegang, haru, dan akhirnya terdiam ketika lantunan nasihat peraga Panembahan Senopati menggema, menusuk ke relung hati: "Jaga pusakamu... jaga sumber airmu... sebab di sanalah nyawamu tertambat..."
Sebuah pagelaran yang bukan sekadar hiburan, tapi juga teguran — bahwa pusaka terbesar kita hari ini adalah bumi yang masih memberi, air yang masih mengalir, dan warisan budaya yang mesti kita rawat bersama. (Yun)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar