SENI BUDAYA

"Semar Bangun Kayangan" Saat Sang Pamong Menjahit Ulang Langit

  • Administrator
  • Minggu, 27 April 2025
  • menit membaca
  • 95x baca

"Semar Bangun Kayangan" Saat Sang Pamong Menjahit Ulang Langit

Yogyakarta, jogja-ngangkring.com— Di bawah langit malam Yogyakarta yang hening, di halaman Masjid Besar Mataram Kotagede, kisah abadi tentang kejatuhan dan kebangkitan kembali dihidupkan lewat pentas wayang kulit dan musik terbang. Dalang Agus Podhang, atau Agus Tugiana, menampilkan lakon "Semar Bangun Kayangan" ini dalam rangkaian Upacara Nawu Sendhang Seliran 2025, Sabtu (26/4/2025).

"Semar Bangun Kayangan", di tengah hiruk-pikuk dunia pewayangan, di mana para ksatria bersaing gagah dan dewa-dewa menebar kuasa, bukan sekadar cerita pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Ini adalah desah napas seorang pamong — suara sunyi dari seorang dewa yang memilih bersujud ketika yang lain mendongak.

Keraton Amarta, kerajaan agung para Pandawa, berdiri megah. Panji-panji kemenangan berkibar, rakyat bersorak, istana berkilau. Namun di bawah gemerlap itu, luka menganga: keadilan memudar, etika pemimpin mengabur. Semar — sang pamong abadi — memandang dengan mata batin yang pilu. Ia melihat bangsa yang didirikan atas darah dan doa mulai terseret ke dalam arus kelalaian.

Maka, di tengah kesunyian, Semar memutuskan: Amarta harus dibangun kembali — bukan batunya, melainkan jiwanya. Bersama anak-anaknya — Gareng, Petruk, dan Bagong — ia mengajak para Pandawa meninggalkan hiruk-pikuk istana, menuju tempat suci: Karangkadempel. Di sana, jauh dari gemuruh politik dan ambisi, manusia diajak bercermin pada dirinya sendiri.

Namun perjalanan menuju penyucian itu tidak mudah. Muncul ancaman baru: Kresna dan Baladewa palsu — tiruan jahat yang berupaya merebut pusaka suci, Jamus Kalimasada, lambang legitimasi dan kebenaran Keraton Amarta. Mereka berdalih: pusaka itu diperlukan untuk menumbalkan wabah besar (pageblug) yang melanda Dwarawati. Dalih itu mengoyak nurani: bagaimana mungkin seorang Kresna — titisan Batara Wisnu, Dewa Kesejahteraan — menggadaikan pusaka demi keselamatan kerajaannya sendiri?

Pertarungan pun pecah, bukan sekadar antara tombak dan pedang, tapi antara kesetiaan dan pengkhianatan, antara idealisme dan oportunisme.

Sedikit yang tahu, di balik tubuh gembul dan wajah jenakanya, tersembunyi rahasia besar: Semar adalah Batara Ismaya, kakak Batara Guru — pemimpin para dewa. Dalam perebutan wahyu keprabon, Ismaya menerima hukuman suci: turun ke bumi, menjadi pamong manusia. Bukan untuk memerintah dari atas takhta langit, tapi untuk membimbing dengan sabar di bumi yang retak. Dalam lakon ini, Semar tidak membangun istana dari emas, melainkan kayangan di dalam batin manusia: dunia ideal tempat pemimpin tidak hanya berwibawa, tetapi juga mengayomi, merendah, dan mengabdi. "Bangunan abadi bukan batu, tapi budi".

Ketika pertarungan selesai, dan topeng-topeng kejahatan runtuh, Semar menyerahkan kembali Jamus Kalimasada ke tangan para Pandawa. Namun ia tahu: kekuasaan hanya akan selamat jika ditopang oleh budi pekerti. Bukan kekuatan senjata yang mempertahankan negara, melainkan watak pemimpinnya.

Malam itu di Kotagede, di bawah bayang rembulan dan teriring lirih suara terbang, Semar seolah kembali menjahit langit yang robek — mengingatkan kita semua: mungkin yang paling kita butuhkan hari ini adalah lebih banyak Semar. Pemimpin yang berani membungkuk, yang berani menghidupkan nurani di tengah dunia yang nyaris lupa bagaimana caranya bermimpi. Semar Bangun Kayangan adalah sabda yang menggema lintas zaman. Kekuasaan bukan soal memerintah, melainkan soal melayani. Negeri besar tidak dibangun dengan ambisi, melainkan dengan kesanggupan mengasuh hati manusia.

"Bangunlah kayangan dalam hatimu sendiri, dan biarkan nurani menjadi rajamu. Menjahit ulang langit demi membangun dunia yang mulai runtuh." (Yun)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar