DOLAN JAJAN

Pasar Lawas Mataram, dari Jagalan Menjaga Ingatan

  • Administrator
  • Rabu, 24 September 2025
  • menit membaca
  • 149x baca
Pasar Lawas Mataram, dari Jagalan Menjaga Ingatan

Pasar Lawas Mataram, dari Jagalan Menjaga Ingatan

Bantul, jogja-ngangkring.com - Desa Jagalan, sebuah kawasan tua di Kotagede yang pernah menjadi pusat Kerajaan Mataram Islam, kembali ramai diperbincangkan. Di halaman Masjid Besar Mataram, ruang bersejarah itu akan menjelma menjadi arena Pasar Lawas Mataram pada 26–28 September 2025. Tiga hari penuh aroma jajanan tempo dulu, lantunan gamelan dan keroncong, hingga tawa anak-anak yang kembali akrab dengan dolanan tradisional.

Pasar Lawas Mataram bukan sekadar ajang jual beli. Ia lahir dari empati sekaligus kegelisahan empat tokoh Jagalan —Agus Podang, Gono Santoso, Sabaryadi, dan Risworo Sigit— yang melihat denyut pasar dan budaya Kotagede perlahan tergerus zaman. Gono Santosa selaku Lurah Desa Jagalan periode 2016–2023, mengingat awal mula pasar ini. Pertama kali digelar pada 2018, sempat terhenti pada 2020–2021 karena pandemi, lalu kembali berlanjut hingga tahun ini yang menjadi penyelenggaraan ke-6. “Halaman Masjid Besar Mataram pernah menjadi pasar darurat di masa penjajahan. Karena itu, Pasar Lawas menjadi sarana untuk mengenang sekaligus menghidupkan kembali denyut ekonomi rakyat Kotagede. Yang berdagang harus warga Desa Jagalan, sebagai bentuk pemberdayaan ekonomi. Harga makanan maksimal Rp10 ribu, dan putaran uang bisa mencapai Rp1 miliar. Semua potensi UMKM kami tampilkan, mulai dari sound system, alat musik, hingga kesenian,” ujarnya.

Agus Podang, salah satu penggagas, pernah menyebut inspirasinya datang dari Gusti Bendoro, putri Sultan HB X yang gemar bergaul tanpa sekat dengan masyarakat. Prinsip itu ia terjemahkan ke dalam tema tahun ini, 'Kebak Tanpa Luber.' Ia bermakna pemanfaatan potensi secara optimal tanpa berlebihan, menjaga keaslian, serta menciptakan harmoni sosial. Adapun tagline pasar, 'yang muda mau berkumpul, yang tua merangkul' , filosofi sederhana yang membuat Pasar Lawas Mataram tak berhenti pada urusan dagang, melainkan juga merawat kebersamaan. “Pasar Lawas ini bukan hanya ruang jual beli, tetapi ruang kebersamaan di mana priyayi dan rakyat kecil, semua tanpa sekat, bisa berbaur,” katanya.

Pasar Lawas Mataram yang pertama dimulai hanya dengan 13 tenant, bermodalkan dana kecil dari Kelurahan Jagalan. Kala itu, pedagang masih ragu apakah kuliner lawas bisa laku. Untuk menyemangati, panitia bahkan memberikan insentif Rp 50.000 per hari atau Rp 150.000 selama penyelenggaraan tiga hari kepada tiap pedagang Siapa sangka, percobaan sederhana itu menjelma menjadi gerakan kultural yang kini berusia satu dekade.

Ketua panitia tahun ini, Muhammad Fauzan, menyebut pasar sebagai ruang bersama yang memberdayakan UMKM sekaligus menghidupkan ingatan kolektif. “Kita tidak hanya berjualan makanan, tetapi menjaga harmoni sosial, menanamkan nilai edukasi, dan menghadirkan pengalaman budaya yang lestari,” jelasnya. Lebih dari 55 UMKM warga Jagalan akan meramaikan pasar tahun ini, dengan harapan melampaui pencapaian tahun lalu yang mencatat perputaran hingga ratusan juta rupiah. Daya tarik pasar tak hanya pada kuliner. Di panggung utama, Sanggar Tari Kembang Mataraman akan menampilkan tarian tradisi, disusul wayang kulit, keroncong, hingga selawatan Jawa. Anak-anak bisa bermain dakon dan gasing di pojok dolanan tradisi, sementara pengunjung dewasa mencoba belajar membatik dengan motif khas padureksa. Ada pula lomba memasak olahan tepung ketan, senam sehat bersama, hingga jalan budaya menyusuri gang-gang Jagalan sambil mendengarkan kisah sejarah kampung tua.

Jagalan sendiri menyimpan lapisan sejarah panjang, dari masjid dan kompleks pemakaman raja Mataram, rumah-rumah joglo, hingga kerajinan perak yang melegenda. Di sinilah Mataram Islam bertumbuh, melahirkan cikal bakal Keraton Yogyakarta. Halaman masjid yang dahulu pernah difungsikan sebagai pasar darurat, kini melalui Pasar Lawas Mataram dihidupkan kembali—bukan sekadar nostalgia, tetapi strategi menjaga keberlanjutan budaya sekaligus ekonomi rakyat.

Dalam penyelenggaraan sebelumnya, lebih dari 15 ribu pengunjung hadir hanya dalam tiga hari. Tahun ini panitia menargetkan 25 ribu orang. Semua kegiatan terbuka gratis untuk umum, sebuah prinsip yang sejak awal dipegang, budaya adalah milik bersama, dan pasar hanyalah ruang untuk membaginya.

Kini, sepuluh tahun sejak pertama kali digelar, Pasar Lawas Mataram telah melampaui fungsinya. Ia menghidupkan kembali memori, menciptakan ruang dialog lintas generasi, dan membuktikan bahwa tradisi bisa menjadi pijakan bagi ekonomi kreatif. Dari Jagalan, denyut itu bergaung, mengingatkan kita bahwa pasar adalah ruang yang hangat, lestari, dan bermanfaat—sebagaimana warisan Mataram yang terus hidup di hati warganya. (Yun)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar