"Laku Urip" Menyulam Hidup Menyalakan Jiwa
Bantul, jogja-ngangkring.com - Di tangan Tri Suharyanto, seni bukan sekadar karya. Ia adalah napas, getar, dan denyut kehidupan itu sendiri. Setiap pukulan palu, liukan logam, dan tarikan napas dalam proses berkesenian adalah bagian dari laku urip—sebuah perjalanan batin yang menganyam dirinya dengan alam, tradisi, dan sesama manusia. Kalimat tersebut terucap oleh seniman patung Tri Suharyanto dalam perbincangan di Studio Seni Rupa Kalibayem, Kasihan, Bantul, akhir pekan lalu.
Pak Tri, begitu ia biasa disapa, lahir dan tumbuh di tanah yang kaya akan kearifan Jawa, tempat di mana alam bukan sekadar latar, melainkan guru sejati. Dalam proses kreatifnya, ia menapaki jalan hidup di atas empat fondasi alam: api, air, bumi, dan angin. Dalam menempa logam keras menjadi karya seni, dibutuhkan api untuk melembutkan yang kaku, angin untuk memberi tenaga pada kobaran api, air untuk mendinginkan bara, dan tanah sebagai landasan tempat segalanya dibentuk.
Tri menjelaskan, api adalah nyala tekad yang tak pernah padam. Api menyalakan keberanian untuk melangkah melampaui keraguan, menembus gelapnya tantangan, dan menjaga bara harapan tetap hidup. Semangat ini tergambar dalam karyanya seperti Patung Naga Jalur Sutra di Bandara Yogyakarta International Airport (YIA)—proyek monumental yang ditempa dari logam bekas selama 1,5 tahun. Setiap pukulan palu dan semburan panas yang membentuk tubuh naga menjadi simbol keteguhan dalam menjaga bara tradisi dan identitas Nusantara di tengah derasnya arus globalisasi. “Melalui api, kesenian adalah perjuangan tanpa henti—membakar ketakutan, membentuk keyakinan,” tegasnya.
Air melambangkan keluwesan, ketenangan, dan daya adaptasi. Seperti air yang mengikuti bentuk wadahnya tanpa kehilangan kejernihan, Tri mengalir dalam berbagai medan sosial dan budaya. Keterlibatannya dalam komunitas lintas gaya seperti STEP Art Project menunjukkan kelenturan jiwanya. Dalam pameran Nguwongke di Taman Budaya Yogyakarta, ia menyuarakan isu-isu hak asasi manusia melalui karya yang membaurkan nilai sosial dan ekspresi artistik. Bersama air, Tri memahami bahwa mempertahankan tradisi tak cukup hanya bertahan, tetapi juga harus lentur—mengalir, meresapi, dan memperbarui.
Bumi adalah pondasi keteguhan, kesetiaan, dan kasih yang membumi. Bagi Tri, bumi mengajarkan bahwa cinta harus ditanam, dirawat, hingga berbuah kebaikan. Dalam performance art Sesaji Terakhir, ia menggambarkan perjalanan manusia dari kelahiran hingga kematian melalui tembang macapat, ritual pembakaran diri, dan simbol-simbol tradisi Jawa. Dari Maskumambang hingga Pucung, ia tak hanya mencipta karya, tetapi juga menanamkan nilai: tentang hubungan manusia dengan alam, tentang rasa hormat pada siklus kehidupan. Lewat bumi pula, Tri membangun pondasi kokoh—bahwa kesenian sejati adalah yang menumbuhkan kembali cinta terhadap akar budaya dan semesta.
Pondasi terakhir adalah angin. Angin adalah kekuatan yang menghidupkan, menyebarkan semangat, dan menghubungkan jiwa satu dengan yang lain. Tri bergerak dari satu komunitas ke komunitas lain, meniupkan napas baru ke dalam seni tradisional yang mulai layu. Melalui pelatihan, pertunjukan budaya, dan dialog dengan masyarakat, ia menunjukkan bahwa seni bukan hanya ekspresi personal, tapi juga sarana membangkitkan kesadaran kolektif. "Seperti angin yang mengalir tanpa bentuk, namun terasa kehadirannya. Berkesenian adalah cara untuk membuat kehidupan tetap bergerak, tetap bernyawa," ungkapnya.
Dalam laku urip-nya, Tri Suharyanto menjadikan keempat elemen ini bukan sekadar simbol, melainkan panduan hidup dan berkarya. Dengan semangat api, keluwesan air, keteguhan bumi, dan napas angin, ia menorehkan jejak—bahwa seni adalah jalan untuk memahami diri, mencintai sesama, dan menghormati semesta. Ia menunjukkan bahwa untuk hidup sepenuh jiwa, kita perlu menjadi api yang membakar, air yang mengalir, bumi yang menumbuhkan, dan angin yang menghidupkan.
Sepanjang perjalanan hidupnya, Tri memegang satu prinsip utama: berkesenian bukan demi gemerlap panggung atau pengakuan, melainkan sebagai bentuk pengabdian terhadap kehidupan yang lebih luas—kehidupan yang penuh makna, yang menghubungkan manusia dengan tanahnya, budayanya, dan sesamanya. Di dunia yang serba cepat dan terfragmentasi, laku urip Tri Suharyanto menjadi cermin: bahwa dalam ketulusan berkesenian, manusia menemukan kembali makna sejatinya—hidup sepenuh jiwa.
Lewat karya-karya monumentalnya, Tri Suharyanto tak sekadar memahat bentuk, tapi juga merawat spirit zaman. Ia menyuarakan bahwa dalam dunia yang terus bergolak, jiwa manusia masih bisa bertahan, mengalir, menumbuhkan, dan menghidupkan. Inilah kisah tentang seorang seniman yang menjalani seni bukan demi sorotan, melainkan untuk menyalakan kembali makna terdalam dari kata hidup itu sendiri. "Berkesenian adalah jalan hidup untuk kehidupan itu sendiri." (Yun)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar