TERAS

Sultan Hamengkubuwono IX 'Tahta untuk Rakyat'

  • Administrator
  • Jumat, 03 Oktober 2025
  • menit membaca
  • 51x baca
Sultan Hamengkubuwono IX 'Tahta untuk Rakyat'

Sultan Hamengkubuwono IX 'Tahta untuk Rakyat' 

BANTUL – Di tengah perjalanan sejarah bangsa, nama Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1912–1988) hadir dengan cara yang istimewa. Ia bukan sekadar raja Kasultanan Yogyakarta, melainkan negarawan yang membuktikan bahwa kekuasaan tertinggi justru lahir dari pengabdian kepada rakyat.

Jejak itulah yang kembali dikenang dalam acara  'Umbul Doa 37 Tahun Mengeti Surut Dalem Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwono IX' pada Jumat (2/10/2025) di Pendopo Keputren, Pleret, Bantul. Acara doa bersama dan tahlil ini dipimpin oleh Abdi Dalem Puroloyo Makam Imogiri, KRT Rekso Kusumo.

Sejumlah tokoh hadir, di antaranya GBPH Prabukusuma (putra Sri Sultan HB IX), Idham Samawi, KH Abdul Muhaimin (PP Nurul Ummahat), Sigit Sugito, RM Nurdi Antoro (tuan rumah), HK Astana, Aprianus Salam, serta puluhan seniman-budayawan Koseta Yogyakarta.

Dalam kesempatan itu GBPH Prabukusuma mengisahkan riwayat hidup ayahandanya. Sejak kecil, Gusti Raden Mas Dorodjatun—nama lahir HB IX—ditempa dalam tradisi keraton yang sarat nilai spiritual Jawa-Islam. Pendidikan modern di Belanda menambah cakrawala berpikirnya.

“Beliau kosmopolit, tapi tetap berakar. Egaliter, tidak pernah berjarak dengan rakyat,” tutur GBPH Prabukusuma.

Kesederhanaan HB IX begitu melekat. Ia tidak canggung berjalan di tengah sawah, bercakap akrab dengan petani, atau duduk lesehan bersama mahasiswa. Dari sikap itulah lahir ungkapannya yang legendaris, “Tahta untuk Rakyat.”

Masa pendudukan Jepang menjadi ujian pertama kepemimpinan HB IX. Ia berani menolak kebijakan yang menyengsarakan wong cilik, termasuk kerja paksa (romusha).

Sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, HB IX langsung menyatakan bahwa Yogyakarta bergabung dengan Republik Indonesia. Keputusan monumental ini membuat Yogyakarta menjadi benteng perjuangan, terutama saat Jakarta jatuh ke tangan Belanda dan ibu kota negara dipindahkan ke Yogyakarta.

“Istana dan sumber daya keraton dibuka sepenuhnya untuk perjuangan. Tanpa keberanian HB IX, sejarah Republik bisa berbeda jalannya,” ujar Sigit Sugito, budayawan yang hadir.

Setelah masa revolusi, kepedulian HB IX tetap konsisten. Sebagai gubernur, ia memberi akses tanah pertanian bagi rakyat. Sebagai pejabat negara, ia menolak penyalahgunaan kekuasaan.

Kisah-kisah kecil tentangnya menggambarkan sisi kemanusiaan. Ia kerap turun langsung mendengar keluhan petani dan mahasiswa. Tidak ada sekat antara raja dan rakyat.

“Beliau membuktikan bahwa pemimpin sejati tidak hidup untuk singgasana pribadi, melainkan untuk kesejahteraan rakyat,” ungkap Aprianus Salam, salah satu seniman yang turut hadir. Warisan HB IX bukan hanya dalam bentuk fisik atau jabatan, melainkan teladan moral kepemimpinan: keberanian moral, kesetiaan pada negara, dan keberpihakan kepada rakyat.

Tiga puluh tujuh tahun setelah wafatnya, sosok HB IX tetap relevan sebagai cermin kepemimpinan bangsa. Ia raja yang memilih menjadi sahabat rakyat, negarawan yang menempuh jalan pengabdian.

“Yang utama bagi beliau adalah menjaga nurani bangsa. Itulah warisan terbesar HB IX,” ujar Idham Samawi.

Maka tak berlebihan jika hingga kini jejaknya terus dikenang. Sebab, sebagaimana hidup yang ia wariskan, kekuasaan tertinggi bukanlah di istana—melainkan di hati rakyat. (Yuliantoro)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar