SENI BUDAYA

"Colors of Life": Tiga Seniman, 3 Refleksi Warna Kehidupan

  • Administrator
  • Jumat, 02 Mei 2025
  • menit membaca
  • 66x baca

"Colors of Life": Tiga Seniman, 3 Refleksi Warna Kehidupan

Yogyakarta, jogja-ngangkring.com – Warna tidak hanya menghiasi dunia, tapi juga merekam jejak perasaan, pikiran, dan pengalaman hidup manusia. Inilah yang menjadi roh dari pameran seni rupa Colors of Life yang digelar di Omah Budoyo, Jl. Karangkajen No.793, Brontokusuman, Yogyakarta, dari 12 hingga 30 April 2025. Menampilkan tiga seniman—Arita Savitri, Djoko Sardjono, dan Rakhmat Supriyono—pameran ini menghadirkan karya-karya yang bukan sekadar suguhan visual, tetapi juga percakapan batin tentang warna, kehidupan, dan pencarian makna.

Kurator pameran, Jemi Batin Tikal, menyampaikan bahwa warna dalam pameran ini bukan hanya perangkat estetika, tapi juga ekspresi eksistensial. “Warna menyimpan psikologi, pengalaman, dan emosi. Dalam karya-karya ini, warna bukan sekadar dekorasi, tapi menjadi bahasa—kadang lantang, kadang lirih—yang mencerminkan pergulatan dan harapan hidup para seniman,” ujarnya.

Lebih lanjut, Jemi mengatakan bahwa Colors of Life bisa dibaca dari dua lapis makna. “Pertama, dari eksplorasi warna dalam karya visual ketiganya. Kedua, dari warna sebagai metafora hidup—baik trauma, harapan, maupun kenangan. Dan batas antara keduanya sangat tipis, seringkali saling tarik-menarik,” jelasnya.

Arita Savitri adalah sosok yang menemukan warna di tengah luka. Lahir di Aek Nabura, 4 Januari 1968, Arita adalah musisi klasik jebolan Russian Music School – Freiburg, Jerman. Namun, cedera pergelangan tangan yang memaksanya berhenti bermain piano membawanya ke jalan seni yang lain: kirigami, seni memotong kertas dari Jepang.

“Arita tidak hanya menggunting kertas, dia sedang merajut luka menjadi pola. Dia tidak menggambar sketsa, dia membiarkan alam bawah sadarnya menuntun gunting. Dan dari situ, muncul pola-pola yang ajaib, kompleks, dan menyimpan keheningan spiritual,” papar Jemi.

 

Kirigami bagi Arita adalah ritual penyembuhan. Ia sering menyertakan lafadz zikir dalam proses karyanya. Tak heran, karya-karya Arita terasa meditatif, bahkan mistis. Bentuk-bentuk floral yang rumit, detail simetris, dan permainan dimensi membuat kirigaminya bukan sekadar seni visual, melainkan juga spiritual.

Karyanya telah melanglang buana ke Jepang, China, Perancis, hingga Amerika. Ia juga aktif memberi workshop bagi anak-anak dan remaja, menanamkan semangat berkarya dengan kejujuran dan kesungguhan.

 

Berbeda dengan Arita, Djoko Sardjono memilih untuk berdialog dengan masa lalu. Ia mengabadikan bangunan-bangunan bersejarah lewat lukisan—sebuah usaha membingkai waktu. “Melukis arsitektur adalah seni merawat kenangan. Djoko tidak hanya menyalin bentuk, tapi juga membangkitkan ingatan kolektif yang sering kita lupakan,” kata Jemi.

Menurutnya, untuk bisa menyampaikan makna dari bangunan tua, seorang pelukis harus peka: terhadap sejarah, terhadap narasi, terhadap emosi. “Sejarah membutuhkan pendekatan estetika, intuisi, dan juga intelektual. Dan Djoko menjahit semua itu dengan presisi warna dan kesadaran ruang,” tambahnya.

Sementara itu, karya Rakhmat Supriyono menangkap energi hidup dari gerak. Ia melukis tari—baik Jawa maupun Bali—dan aktivitas keseharian. Tapi lebih dari itu, ia mengabadikan filosofi gerak sebagai cermin nilai budaya.

“Rakhmat memahami bahwa tarian adalah tubuh yang berkata. Gerak menjadi bahasa spiritual, bukan sekadar fisik. Dan dalam lukisannya, setiap gerakan itu seolah mengalir, hidup, tidak beku,” ujar Jemi.

Menurutnya, Rakhmat mampu mentransformasikan gerak menjadi bentuk visual yang penuh irama. Ia tidak hanya melukis sosok, tapi menghidupkan suasana, menghadirkan napas budaya dalam goresan.

Colors of Life adalah pameran yang mengajak kita menyelami warna lebih dalam—bukan hanya sebagai unsur estetika, tetapi juga sebagai cermin dari pengalaman hidup, trauma, harapan, dan kebijaksanaan. Di tangan Arita, Djoko, dan Rakhmat, warna menjadi narasi personal sekaligus universal.

“Pameran ini ingin mengatakan bahwa hidup itu memang penuh warna. Bukan hanya indah, tapi juga penuh kontradiksi. Dan lewat karya-karya ini, kita bisa merasa bahwa warna adalah bahasa yang bisa dimengerti tanpa harus diterjemahkan,” tutup Jemi Batin. (Yun)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar